Sabtu, 05 Februari 2011

Nasib Petani Gurem

Siang ini, badanku sakit semua. Dari kamarin aku "ngayak", menyaring gabah yang masih bercampur dengan dedaunan jerami yang rontok. Sesekali aku keluar rumah, menjaga gabah yang sedang ku jemur di halaman sambil mengusir ayam-ayam yang suka makan dan "ngeker-eker", bikin gabah berantakan.

Kalau capek, aku ngaso di dalam rumah, cepat-cepat cuci tangan dan kaki pake sabun biar rasa gatalnya agak berkurang. Keringat bercucuran dari wajahku.

Ini kesibukanku yagn baru sebagai petani beserta petani-petani lain di desaku. Capek, gatal, dan kadang-kadang sport jantung juga kalo tiba-tiba ujan mendadak. Kami sering kalang kabut "ngengker gabah", berjibaku melawan ujan untuk memasukkan gabah ke dalam rumah atau kadang dibiarkan di halaman dengan ditutupi plastik biar nggak kehujanan kalo udah nggak keburu di bawa ke rumah. Seneng gimana githu rasanya....

Sayang kegembiraan kami kala panen harus padam saat harga gabah anjlok dan tak bisa untung. Yah kalo untung masih syukur, seringkali para petani harus nangis pilu karena panennya gagal atau paling banter impas. Maklum harga jual gabah tak bisa mengimbangi tingginya harga produksi. Akhirnya petani hanya gigit jari....

Itulah derita petani. Tak pernah merasakan senang dan makmur. Kalo mau kaya jangan jadi petani. Itu pameo masyarakat kita sekarang, jadinya angka petani semakin menurun dan semakin susah mencari tenaga kerja untuk pertanian. Apalagi mencari orang yang bercita-cita jadi petani. Wuihhh, susahnya minta ampun....